A. PANCASILA DAN PASAL 28 UUDNRI 1945
Dasar Negara kita adalah pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pancasila secara sejarah bermula dari cetusan para pejuang kemerdekaan bangsa di sidang PPKI/BPUPKI, setalah mengalami panjang lebar perdebatan maka disepakatilah 5 butir kalimat yang awalnya disebut Piagam Jakarta. 5 butir kalimat itu antara lain:
- Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
- Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Kenyataan pancasila hari ini tentu saja berbeda, perbedaannya terletak pada kalimat angka 1. Dalam sejarahnya kalimat pertama Piagam Jakarta menurut beberapa ahli sejarah, di tentang oleh para pejuang kemerdekaan dari wilayah Indonesia Timur yang beragama non Islam. Karena mereka merasa bahwa kalimat tersebut secara tidak langsung mencerminkan tidak adanya multikultularisme di Indonesia, dan mengancam akan keluar dari NKRI. Oleh karena perotes tersebut, maka Hatta, Soekarno dan beberapa pejuang kemerdekaan yang beraliran Nasionalis mengajak para tokoh Islam (Pejuang kemerdekaan), dan beberapa tokorh perjuangan non islam, melakukan dialog kembali terkait dengan butir satu (1) Piagam Jakarta.
Setelah mengalami perdebatan yang panjang, maka dihasilkan kesepakatan yang menyatakan bahwa kalimat dengan bunyi “kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya” dihapus, dan yang tersisa adalah “Ketuhanan yang Maha Esa”. Saat ini menarik untuk dicermati, perubahan nama dari Piagam Jakarta menjadi Pancasila memang tidak bisa dipungkiri berawal dari perdabatan atas kalimat pada angka 1 piagam Jakarta. Selanjutnya disebut sekarang disebut sila Pertama (1) memang menjadikan bangsa ini memberikan kebebasan kepada Warga Negara yang beragama Islam apakah ia akan menjalankan syariat secara smenyeluruh(kaffah) atau tidak, dan dengan demikian Negara lepas tangan dalam urusan agama terhadap individu rakyatnya.
Jika dicermati lebih lanjut, sesungguhnya keberadaan sila pertama dengan bunyi ketuhanan Yang Maha Esa saat ini ditafsirkan beragam dan memiliki konteks yang menjadikan bangsa ini terpecah dalam ketidakpastian GrondNorm. Tengok saja beberapa kasus yang menjadi top isu nasional bahkan internasional berkaitan dengan syariat Islam, seperti kasus aliran Ahmadiyah di Indonesia. Secara keyakinan aliran Ahmadiyah menyatakan diri sebagai Islam. Tapi dari sisi syariat Islam berdasarkan kajian MUI mereka telah menyimpang, karena aliran Ahmadiyah mengakui adanya Nabi lain setelah nabi Muhammad.
Pada konteks yang berbeda kita boleh berandai – andai, terkait beberapa hal tentunya:
- Terkait bunyi “kewajiban menjelankan syariat silam bagi pemeluknya”. Jika saja Pancasila yang kita kenal sekarang masih mencantumkan bunyi “ketuhanan yang maha esa dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya pada sila pertama-nya (ke 1)”. Maka mungkin saja tidak ada penistaan agama Islam yang dikaitkan dengan aliran Ahmadiyah .
- Andai saja kalimat yang berbunyi (ketuhanan yang maha esa dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya) masih ada sampai dengan pancasila yang kita kenal sekarang . mungkin saja dalam sejarahnya provinsi NAD (Nanggro Aceh Darussalam) tidak akan berusaha untuk memisahkan diri dari NKRI. Kenapa saya mengatakan demikian..? buktinya saat ini setelah perdamaian antara pemerintah RI dan GAM pada 2005 silam diteken. Provinsi NAD menjadi provinsi di Indonesia yang berusaha menegakkan syariat Islam secara Konsisten (kaffah). Ini tentu saja cerminan dari semangat pejuang kemerdekaan bangsa terdahulu yang berusaha ingin diwujudkan oleh Aceh
Belum lagi jika dibenturkan dengan pasal 28 A-J UUDNRI 1945 tentang Hak Azasi Manusia (HAM). Maka keberadaan aliran-aliran yang menyimpang dari Agama Islam menjadi legal, dan harus diberi perlindungan, karena Secara konstitusi mereka sudah terlindungi, menyangkut kebesan berkayinan, dan memeluk agama.
Artinya yang dapat disimpulkan bahwa: secara sejarah sungguh para pejuang kemerdekaan dan peletak dasar bangsa diawal kemerdekaan telah berbuat yang terbaik bagi bangsa Indonesia untuk masa depannya. Namun ada kesalahan yang menurut saya dikemudian hari menjadi perpecahan ditubuh NKRI baik secara territorial maupun secara ideologi. Tentang Pancasila dan pasal 28 A-J UUDNRI 1945 cukup dibicarakan sampai konteks yang demikian.
B. Pasal 33 UUDNRI 1945, dan Rakyat Pembangun Bangsa
Dilain sisi konsistensi Negara dalam mengimplementasikan UUDNRI 1945 juga perlu sungguh-sungguh untuk dipertanyakan kembali. Berkaitan dengan itu dalam hal yang demikian implementasi pasal 33 UUDNRI 1945, kalau boleh dinilai secara riil walaupun sudah berusaha untuk di laksanakan sesungguhnya sampai dengan saat ini masih jauh panggang dari Api.
Pasal 33 UUBNRI 1945 yang pada intinya berbunyi “semua kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sampai pada saat ini masih tidak dirasakan implementasinya secara nyata oleh pemerintah. Justru semakin tahun semakin nyata dirasakan, bahwa penguasaan kekayaan alam tidak lagi dikuasai oleh Negara, melainkan dikuasai Asing. Tengok saja seperti beberpa jenis pertambangan Minyak, Timah, Gas, dan lain sebgainya lebih dominan dikuasai perusahaan asing, daripada perusahaan milik negara.
Belum lagi di dunia perkebunan, rata-rata perusahaan pengelola perkebunan juga di kuasai oleh asing. Hasil hutan juga demikian, lebih banyak diberikan untuk kepentingan asing. Sehingga tak dirasakan adanya kekayaan Alam yang merimpah ruah ini untuk kesejahtraan dan kemakmuran rakyat. Kita selaku bangsa Indonesia telah menjadi pengekor dari bangsa lain.
Keberadaan beberapa undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan kekayaan Sumber Daya Alam mengindikasikan hal tersebut. sepertinya halnya Undang-Undang Nomor. 25 tahun 2007 tentang Investasi, dalam undang undang ini memberikan begitu banyak raung kemewahan bagi Investor Asing untuk menguasai kekayaan Alam Negeri ini sebagai obyek investasi, yang bisa dikelola sampai 90 tahun.
Bangsa kita lebih banyak menjual kekayaan alam sendiri untuk kepentingan asing daripada mengelola dan menguasainya untuk kemakmuran dan kesejahtraan rakyat. Maka dari ini bisa dilihat inkonsistensi pemerintah dalam menjalankan amanah konstitusi terutama pasal 33 UUDNRI 1945. Jika saja satu jengkal tanah bangsa ini benar-benar berharga di dalam hati para penguasa dan pemegang kebijakan negeri ini. Tentu kondisi kekayaan alam bangsa akan lebih diprioritaskan untuk kemajuan,kesejahtraan,dan kemakmuran rakyat sendiri, bukannya malah lebih diberikan kepada kepentingan asing.
Belum lagi ketika kita berbicara produk-produk perdagangan yang membanjiri Indonesia. Lebih banyak bangsa ini mengutamakan produk import dari pada produk dalam negeri. Perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agrement) yang dicanangkan WTO membuat bangsa ini menjadi bangsa konsumtif. Karena setiap tahun produk- pdroduk asing membanjiri negeri ini. Sedangkan produk bangsa sendiri belum bisa secara maksima dapat menguasai bangsa lain.
Pada konteks yang lain ada beberapa hal yang menjadi kesalahan pemerintah dalam membangun bangsa, antra lain:
- Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang belum mandiri, dan pemerintah belum berusaha maksimal untuk mengambil alih setiap pengelolaan SDA.
- Ketergantungan yang tinggi terhadap bangsa lain/asing.
- Keseriusan membangun bangsa yang tidak Konsisten terhada amanah dalam konstitusi Negara
- Tidak tegasnya Negara dalam menegakkan hukum.
- Uforia berlebihan terhadap Luasnya Wilayah Negara dan kekayaan Alam, sehingga cendrung berada pada zona nyaman.
- Tidak seriusnya pemerintah mensejahtrakan rakyat, melalui kebijakan pemberdayaan masyarakat berbasis pada pengelolaan kekayaan alam, kemajuan tekhnologi.
- Pimpinan Negara tidak menjadi panutan yang dapat dicontoh oleh Rakyat
- Terpecah belahnya pemikiran pembangun bangsa, dengan berbagai teori dan ideologi pembangunan Ekonomi yang berdasar atas ideologi Kapitalis Global, sehingga Ideologi pancasila yang mempunyai asas ekonomi kekeluargaan hanya menjadi teori saja.
- Prioritas pembangunan yang mengesampingkan efek jangka panjang bagi kemakmuran rakyat.
- Kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan yang selalu menyertai dalam proses membangun bangsa.
- Kurang pedulinya pemerintah dalam memberikan perhatian yang luas terhadap kondisi kekinian rakyat.
- Pasar bebas dalam segala bidang yang tidak di antisipasi/ tidak diproteksi dengan ketahanan dan pembangunan kekeutan ekonomi berbasis kerakyatan yang baik, sehingga lebih banyak menghasilkan rakyat yang konsumftif daripada produktif.
- Kekuasaan Negara yang hanya dipegang oleh elit tertentu.
- Pembangunan infrastruktur yang tidak merata antara pulau jawa dan luar jawa, terutama di wilayah Indonesia bagian timur
Selain hal diatas masih banyak lagi kesalahan pembangunan yang tidak dapat di Indetifikasi secara secara langsung. Mengingat bahwa, untuk membangun bangsa perlu satu kesatuan yang utuh, maka syogyanya proses pembangunan bangsa tidak didiberikan untuk Elit tertentu, ataupun wilyah tertenut. Membangun bangsa yang besar, memerlukan kebersamaan dan kesamaan Visi Misi terhadap Indoensia masa datang.
Maka dalam hal ini Negara harus berani melibatkan masyarakat secara nyata, menjadikan rakyat sebagai Subyek yang turut serta melakukan pembangunan, dengan cara memberikan rakyat kesempatan yang luas dan memberikan fasilitas untuk membangun bangsanya sendiri. Bila dicermati sampai dengan saat ini, rakyat terkesan hanya dijadikan obyek pembangunan, kemudian Negara turut campur tangan dalam memberikan dan mempasilitasi rakyat membangun bangsanya atau tidak peduli terhadap rakyat.
Tentu saja dalam tulisan ini banyak sekali kesalah dan kekeliruan, tapi apa yang terdapat dalam tulisan yang sulit untuk difahami ini seyogyanya dapat kita renungkan untuk kepengtingan dan kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Terima Kasih dan semoga bermanfaat bagi kita semua.
By A.R. Khadapi